Jakarta, 3 Februari 2017 – Bertahun-tahun mengurus program anak-anak Indonesia untuk tinggal di keluarga mancanegara dan belajar budaya mereka, membuat Ungki dan Rita berpikir, mengapa tidak membuat program serupa di negeri sendiri. Mereka pun bergerak mengenalkan ragam budaya Indonesia kepada anak-anak sekaligus belajar menghargainya.
Namun, ternyata tidak mudah mewujudkan cita-cita itu. Meski mereka telah mengundurkan diri dari tempat kursus Bahasa Inggris dengan program homestay itu pada 1995, ada saja kesibukan lain yang menyita waktu mereka. Rita yang bernama lengkap Masniarita Siburian-Silalahi tiba-tiba mendapat beasiswa untuk belajar di Cambridge, Inggris. Sementara itu, Ungki atau Endang Wijayamurti Aldar sibuk di bidang barunya, pendidikan dan pelatihan.
Kepulangan Rita dari Inggris pun tidak memuluskan jalan. Lulus program MBA Manajemen Umum dari Anglia Ruskin University di Cambridge, Rita malah berkecimpung di industri perbankan korporasi dan private banking.
“Kami selalu ingat mimpi kami. Tetapi, ternyata tidak gampang kalau sambil kerja. Beberapa teman yang berminat repot urusan masing-masing,” kata Rita. Tinggallah berdua: Ungki yang sangat Jawa dengan tutur kata dan gerak-gerik halus serta Rita yang Batak lugas.
Enam belas tahun mimpi itu terbenam, akhirnya mereka nekat mengajak 10 remaja usia 8-16 tahun- anak-anak kenalan, teman, dan keponakan-ke Solo dan Yogyakarta. “Itu pun tak mudah. Ketika kami tawari, beberapa orangtua berkomentar, ‘Mahal banget (biayanya), mendingan ke Singapura’,” tutur Ungki.
Padahal, biaya Rp 3,9 juta itu sudah mencakup semua: pesawat, hotel, makan, sewa mobil, dan workshop. “Di Singapura biaya bisa ditekan karena transportasi publiknya bagus. Orang suka lupa, ada hal-hal yang jauh lebih berharga karena anak-anak mengenal budaya bangsanya,” tambah Ungki.
Selama empat hari tiga malam, anak-anak belajar membatik, menari, dan merakit permainan tradisional. Di Dusun Pandes, Bantul, anak-anak belajar membuat wayang dari karton. Tiap anak mendapat tokoh sesuai karakternya. Di sebuah kampung di Yogya, tempat Komunitas Kampung Halaman memberdayakan remaja setempat, anak-anak belajar menyablon kaus dari remaja sebayanya.
Perjalanan Solo-Yogya itu, Desember 2011, jadi titik awal berdirinya ICA: Indonesian Cultural Adventure.
Jejak kultural
Akhir Oktober 2016, sebelum isu SARA merebak, ICA mengajak 21 anak usia SD-SMP-sebagian ditemani orangtua mereka-menyusur jejak pluralisme Jakarta. Mereka berkunjung ke Masjid Istiqlal, Gereja Katedral, serta berakhir di Museum Keramik dan Museum Wayang kawasan Kota Tua.
“Sayang, Wihara Dharma Bhakti, wihara tertua di Jakarta yang biasanya masuk dalam program, rusak terbakar,” ujar Rita.
Duduk di lantai menikmati semilir angin dari dinding masjid yang berkisi-kisi, peserta belajar arti kata istiqlal dari bahasa Arab yang artinya ‘merdeka’. Frederich Silaban, arsitek yang merancang masjid itu, membuat diameter bentang kubahnya 45 meter, melambangkan tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945.
Kubah itu disangga 12 pilar utama, melambangkan hari kelahiran Nabi Muhammad, 12 Rabi’ul Awal. Di Katedral, gereja yang didirikan tahun 1810, peserta ICA diajak berkeliling menelusuri sejarah arsitektur neogotik, mengagumi orgel pipa, dan menengok ruang pengakuan dosa.
Pada lain waktu, ada program Perjalanan Akulturasi di Tangerang. Peserta berkumpul di Stasiun Sudirman, menunggu kereta rel listrik (KRL) tujuan Duri, lalu berganti KRL menuju Tangerang. Anak-anak yang biasa diantar jemput mobil ber-AC, kini harus berdesakan di dalam kereta.
Sampai di Stasiun Tangerang, peserta naik becak menuju Pasar Lama. Di tengah keriuhan pasar, ada Museum Benteng Heritage, tempat budaya peranakan Tionghoa didokumentasikan. Dari situlah peserta mengawali petualangan denganamazing race ala ICA. Dibagi dalam kelompok, mereka harus belanja makanan khas pasar itu. Mulai dari gengsot, sate pari asap, hingga kacang jogo.
Maka membaurlah anak-anak itu di antara pedagang ikan, ayam potong, dan sayuran. Mencari makanan yang bahkan namanya pun belum pernah mereka dengar. Pada kali lain, di Kampung Budaya Sindangbarang, Bogor, anak-anak ditugasi menangkap ikan di empang dengan tangan kosong. Basah kuyup berlumur lumpur, mereka kegirangan mengejar ikan.
Membuka wawasan
Tercapaikah cita-cita mengenalkan keberagaman Indonesia? “Kami tidak muluk-muluk. Paling tidak, kami membuka wawasan mereka tentang perbedaan dan keberagaman. Harapannya peserta menjadi toleran dan menulari sekitarnya,” kata Ungki.
Kenyataannya, tidak mudah meningkatkan frekuensi perjalanan budaya ini. Bahkan saat keduanya sudah keluar dari pekerjaan masing-masing. Rita masih mengajar Bahasa Inggris paruh waktu sehingga ada saja halangan setiap kali ingin menggelar perjalanan budaya secara lebih intensif.
Alhasil, dalam satu tahun paling 3-4 kali acara. Ini memang bukan bisnis untung besar. Sudah frekuensi sedikit, peserta terbatas, sering menombok pula. Suami Rita suka menggoda, “Kapan balik modalnya?”
Sampai suatu ketika, Rita mengajak sang suami menjemput peserta pulang dari program ICA ke Padang, Sumatera Barat, di Bandara Soekarno-Hatta. ICA juga membantu membuatkan program homestay untuk sekolah dan menautkan mereka dengan jaringan ICA di tempat tujuan.
“Turun di bandara, wajah mereka berbinar-binar. Semua berebut cerita tentang asyiknya perjalanan di Padang,” kata Rita.
Anak-anak itu tinggal di Desa Rantih, belajar pencak silat, membuat kain songket, sampai ikut bajamba-tradisi makan ramai-ramai dari sebuah nampan besar. Mereka juga berkunjung ke rumah Bung Hatta, belajar filosofi rumah gadang, serta menikmati pertunjukan talempong dan saluang, alat musik tradisional Minangkabau.
Seketika suami Rita paham, pekerjaan istrinya priceless, tidak bisa dinilai dengan uang. Kata suaminya kemudian, “Yang penting kamu bahagia menjalaninya.”
Ungki dan Rita masih punya banyak mimpi. “Kami ingin mengajak anak-anak dari berbagai suku di Indonesia bertukar budaya. Yang dari Bali homestay di Padang, yang dari Jawa bisa di Makassar, dan seterusnya,” kata Ungki.
Adalah kebetulan, keduanya sama-sama anak diplomat. Mengikuti orangtuanya bertugas di banyak negara membuat mereka berkesimpulan Indonesia adalah negeri terindah. Inilah yang ingin mereka perkenalkan, bukan hanya pemandangannya, melainkan juga menyemai cinta pada keberagaman.
Lihat artikel terkait “Menyemai-Cinta-pada-Keberagaman” di http://print.kompas.com/baca/sosok/2017/02/03/Menyemai-Cinta-pada-Keberagaman